Minggu, 11 Maret 2012

Self Regulation anak ditinjau dari pola asuh

Tepat atau tidaknya jawaban tersebut terabaikan ketika diskusi kami akhirnya terfokus pada slogan “Dua Anak Lebih Baik” dilihat dari sisi pola asuh dalam teori psikologi. Dalam teori pola asuh - psikologi, terdapat istilah self regulation. Self regulation merupakan mekanisme internal yang dalam, yang memungkinkan seorang anak dapat menggunakan kesadaran, kehati-hatian, serta pikiran dalam berprilaku yang wujudnya berupa kemampuan untuk menahan perilaku dan kemampuan untuk melakukan perilaku tertentu yang diminta (Bodrova & Leong, 2005). Selepas dari diskusi tersebut, saya tertarik mengulas jumlah dua anak dalam keluarga dilihat dari pola asuh dan self regulation. Berikut ulasan saya setelah membaca beberapa  penelitian,  jurnal dan buku referensi terkait dengan  pola asuh,  self regulation dan dihubungkan dengan jumlah anak.
Keberhasilan seseorang tidak hanya  ditentukan oleh tingkat intelegensinya, tetapi dibutuhkan juga kemampuan meregulasi dirinya (Susanto, 2006). Dalam proses pendidikan, seseorang belajar untuk meregulasi dirinya, sebagai contoh : dalam hal membagi waktu belajar dan bermain, merencanakan jadwal belajar serta mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Akan tetapi banyak anak-anak yang hampir menyelesaikan pendidikan sekolah dasar namun belum memiliki  self regulation yang baik, sehingga orang tua mengalami kesulitan dalam menghadapi anak-anak sendiri.
Kurniasih (2008) mengungkapkan, orang tua banyak mengalami kesulitan dalam memotivasi anak untuk belajar. Orang tua perlu mengingatkan berkali-kali agar anak bersedia membaca buku dan mengulang kembali pembelajaran sekolah saat di rumah. Peringatan-peringatan tersebut terkadang tak diacuhkan oleh anak, sehingga orang tua perlu melakukan usaha lain agar anak mau belajar dengan cara menjanjikan akan memberi hadiah atau sampai memberi hukuman kepada anak.
Hasil  survey yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia terhadap 306 siswa kelas IV sampai dengan kelas VI di jakarta mengatakan bahwa pada tahun 1997 rata-rata anak menonton televisi 26 jam per minggu. Tahun 2001 meningkat menjadi 35 jam per minggu atau sama dengan 5 – 6 jam per hari. Selain itu, sebanyak 50 persen responden (anak kelas IV s.d kelas VI) menyadari bahwa mereka terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi sehingga cenderung melupakan kegiatan belajar di rumah (Susanto, 2006). 
Dalam waktu tiga bulan terakhir ini, setiap hari sabtu saya melakukan pengamatan terhadap anak-anak kelompok bermain dan anak-anak taman kanak-kanak di KB/TK ASIH. Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa rata-rata anak-anak belum menunjukkan  self regulation yang baik. Masalah-masalah yang sering terjadi seperti : anak tidak sabar menunggu pelayanan dari guru, anak belum dapat berbagi mainan dengan anak lain, anak menyerobot antrian saat masuk kekelas atau saat mencuci tangan, anak belum bersedia mengikuti kegiatan di kelas, anak harus dimotivasi dalam mengerjakan tugas dan lain-lain. 
Menurut Erikson (dikutip oleh Santrock, 2007), pada usia dua tahun, anak mulai menyadari bahwa perilakunya milik dirinya sendiri. Anak menunjukkan minat untuk melakukan sesuatu sendiri. Pada anak berusia tiga tahun, anak mulai memperluas lingkungan sosialnya dan menjadi lebih tertantang dari masa sebelumnya.  Anak perlu lebih aktif dan melakukan perilaku yang bertujuan. Disisi lain, Eisenberg (2005) mengatakan bahwa masa toddler dan pra sekolah merupakan masa yang temperamental. Pada masa ini, ada usaha mengontrol diri yang muncul secara tiba-tiba dan menyediakan dasar bagi munculnya  self regulation
Self regulation menjadi sesuatu yang mendesak karena memiliki pengaruh kepada kualitas interaksi sosial anak dan kapasitas untuk belajar. Orang tua mengharapkan anak untuk memiliki  self regulation yang baik, hingga orang dewasa cenderung merespon negatif jika anak yang tidak mengembangkan self regulation Perry (2008) mengatakan self regulation yang sehat berhubungan dengan kapasitas untuk menahan perasaan stres ketika suatu kebutuhan tidak dapat dipenuhi pada saat itu. Ketika anak belajar memberi respon dengan tepat terhadap suatu ketidaknyamanan, ia menjadi lebih mampu bersabar terhadap tanda-tanda awal ketidaknyamanan yang berhubungan dengan stres, rasa lapar, kelelahan dan frustasi. Ketika seorang anak mempelajari untuk  bertahan dari berbagai kecemasan, ia akan lebih sedikit reaktif dan impulsif. Sebab sebelum bertindak, anak berpikir sejenak terlebih dahulu. Pada kondiri tersebut anak dapat menggunakan waktu berpikir untuk memikirkan suatu rencana bertindak yang tepat untuk memberi respon terhadap tantangan yang terjadi.
Menurut Blair (2003), anak yang memiliki self regulation, ia akan mampu : (a) mengkomunikasikan kebutuhan, keinginan dan pikirannya secara verbal, (b) memiliki ketahanan untuk tetap memperhatikan dan antusias serta memiliki rasa ingin tahu terhadap aktivitas baru, (c) menahan impuls dan mengikuti arahan, (d) menunggu giliran dan peka terhadap anak lain. Copper dan Farran (dikutip oleh McClelland, Connor, Jewkes, & Comeron, 2007) menyebutkan bahwa anak-anak yang tidak memiliki kemampuan  self regulation yang adekuat pada saat memasuki pendidikan formal akan mengalami penolakan oleh teman sebaya dan mengalami prestasi akademik yang rendah. Hal tersebut dikarenakan kurang memperhatikan, kesulitan mengikuti instruksi dan kesulitan menahan tindakan yang tidak tepat.
Susanto (2006) mengatakan  self regulation anak tidak berkembang dengan sendirinya. Anak membutuhkan lingkungan kondusif agar self regulation-nya berkembang. Lingkungan baik untuk mengembangkan  self regulation didapatkan dari orang tua, teman sebaya, dan guru-guru di sekolah.  Kemampuan anak untuk mengatur dirinya ini juga dapat dilatihkan oleh  orang tua sejak balita. Anak dapat dilatih untuk mengatur dirinya melalui kehidupan sehari-hari. Misalnya anak dibiasakan untuk menaruh barang sesuai tempatnya dengan rapi, mandi sore setiap pukul empat, memiliki ritual menjelang tidur, dan lain-lain. Bila hal ini sudah terbentuk menjadi kebiasaan yang selanjutnya disebut anak tersebut mulai memiliki self regulation. Selanjutnya apabila bergabung dalam kegiatan kelompok bermain, anak akan cepat mengikuti aturan dan dapat berpartisipasi secara aktif (Kurniasih, 2008).
Salah satu kesempatan emas untuk melatih anak memiliki self regulation yang baik adalah pada saat berinteraksi dengan anak melalui bermain. Pada saat bermain, anak bukan saja termotivasi untuk memfokuskan perhatian, namun belajar hal lain yang  berkaitan dengan pembentukan self regulation. Misalnya orang tua yang bersedia aktif dalam bermain purapura, dapat memberikan arahan dengan cara yang menyenangkan sehingga anak dengan mudah bersedia mengikutinya. Contoh lain orang tua dapat menunjukkan cara menyisir rambut bonekanya atau menggosok giginya. Begitu pula saat bermain peran. Ketika orang tua mengajaknya bermain peran menjadi ayah, maka anak dengan sendirinya mengelaborasikan aturan main sebagai ayah yang harus mencium anaknya sebelum pergi bekerja (Parentsasteachers, 2008).
Serangkaian tindakan atau interaksi orang tua dengan anak yang bertujuan untuk meningkatkan perkembangan anak seperti contoh di atas disebut dengan pengasuhan. Peran orang tua dalam mengasuh anak adalah untuk memelihara dan melindungi anak serta membantu anak tumbuh menjadi orang dewasa yang kompeten. Untuk mencapai hal ini, orang tua memiliki tugas-tugas lain yaitu menjamin kelangsungan hidup anak secara fisik, mengajar kebiasaan-kebiasaan baik, memuaskan kebutuhan anak, dan memberi stimulasi di semua segi dengan menyediakan berbagai pengalaman (Brook, 1999).
Baumrind (dikutip oleh Darling, 1999) membedakan pola asuh menjadi empat, yaitu :
otoritatif, otoritarian, permisif, un-involved. Masing-masing pola asuh ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pola asuh otoritatif memiliki ciri adanya kesamaan hak dan kewajiban orang tua dan anak. Orang tua otoritatif memiliki tuntutan yang tinggi terhadap anak, namun juga memiliki kehangatan yang tinggi pula. Pola asuh ototitarian menekankan tuntutan orang tua ditujukan kepada anak untuk mendapatkan ketaatan dan kepatuhan. Pola asuh permisif memandang anak sebagai seorang pribadi hingga diperbolehkan untuk mengatur tingkah lakunya sendiri. Sedangkan pola asuh  un-involved adalah  pola asuh yang rendah dalam tuntutan maupun kehangatan. Orang tua dengan pola asuh un-involve cenderung mengabaikan anak.
Menurut Maccoby dan Martin (dikutip oleh Gray & Steinberg, 1999), literatur secara konsisten menunjukkan bahwa penerimaan orang tua, disiplin praktik hukuman yang bukan tindakan menghukum, dan kekonsistenan dalam pengasuhan anak masing-masing berasosiasi dengan hasil perkembangan  yang positif dalam diri anak. Anak yang dibesarkan dalam rumah yang otoritatif akan memiliki skor tinggi dalam hal berbagai macam pengukuran kompetensinya, perkembangan sosialnya, persepsi diri dan kesehatan mentalnya. Bronson, Tivnan, Seppanen (dikutip oleh McClelland et al., 2007) mengatakan bahwa anak-anak di masa pra Taman Kanak-kanak (TK) yang menunjukkan kesulitan dalam memperhatikan dan menggunakan memori serta ada hambatan dalam mengerjakan tugas secara lengkap, memiliki tingkat pencapaian kognitif di bawah standar. Anak-anak tersebut beresiko memiliki masalah dalam keluarga, pendidikan orang tua yang rendah serta adanya masalah yang berkaitan dengan perilaku atau emosi.
Li-Grining (2007) mengatakan bahwa pengasuhan optimal orang tua dalam memprediksi rendahnya masalah perilaku dan kompetensi sosial yang baik dalam konteks pada saat anak mengalami suatu musibah. Sementara itu penelitian Rohner, Kean, dan Courneyer (dikutip oleh Demo & Cox, 2000), menemukan bahwa hukuman fisik oleh orang tua secara substansial merusak penyesuaian psikologis anak, terutama jika hukuman itu sering dilakukan dan berupa hukuman berat. Hal ini memberi kontribusi yang besar bagi timbulnya rasa ditolak oleh orang tua. Pengasuhan oleh ibu masih mendominasi pengasuhan pada anak-anak. Cara ibu mengasuh berpengaruh kepada perkembangan anak. Ibu yang hangat, merawat anak secara individual  dan konsentrasi pada kesejahteraan anak biasanya menghasilkan anak yang baik dan penolong (Brooks, 2004). Sementara itu, ibu yang menggunakan strategi kehangatan, responsiveness, konsisten, dan dapat mengontrol diri dalam mengasuh anak , menjadi model bagi anak untuk berperilaku yang diharapkan oleh lingkungan dan selanjutnya dapat akan mengurangi timbulnya masalah perilaku bagi anak-anak (Koblinsky, Kuvalanka, & Randolph, 2006).
Mengacu kepada konsep-konsep teori dan penelitian di atas, terlihat bahwa sikap orang tua terutama ibu dalam berinteraksi berpengaruh terhadap berbagai aspek dalam kehidupan anak. Kualitas pengasuhan anak merupakan prediktor dalam perkembangan self regulation anak. Kehangatan orang tua dan disiplin yang ditanamkan orang tua merupakan prediktor bagi self regulation. Anak yang mengalami kehangatan dan kepekaan dari orang tua lebih dapat mengatur dan memfokuskan perhatian pada tuntutan perkembangan. Anak-anak ini dapat mengikuti arahan orang tua, memperoleh keuntungan dari bimbingan orang tua, dapat menginternalisasi norma-norma, serta menahan diri berperilaku yang tidak tepat (Eiden,Edward, & Leonard, 2007).
Dalam pengasuhan, memerlukan persiapan secara mental dan fisik dari orang tua. Orang tua diharapkan dapat bermain peran agar dapat menstimulasi dan menjadi role model bagi anak. Menurut Rohani (2009) mengatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan jumlah anak  dalam  keluarga terhadap self regulation. Selanjutnya Rohani mengatakan,  keluarga yang memiliki jumlah anak adalah dua orang, maka anak-anak tersebut cenderung menampilkan  self regulation yang telah berkembang, khususnya pada dimensi  self inhibition. Ciri-ciri anak yang mampu mengembangkan self inhibition adalah (1) anak mampu menunda kegembiraan, seperti : menunggu hadiah, berbagi mainan dengan anak lain dan menunggu giliran, (2) anak mau tunduk mengikuti arahan orang dewasa, menahan diri untuk tidak membuat kekacauan, serta taat pada aturan kelas, (3) anak mampu melakukan toleransi terhadap frustasi, seperti menahan diri untuk marah, bosan, kecewa, dan (4) anak mampu untuk sabar, seperti : ketekunan dalam mengerjakan tugas, kemampuan menghadapi kritikan/kecaman dalam level sedang (Olson & Kashiwagi, 2000). Sedangkan keluarga yang memiliki jumlah anak adalah lebih dari dua orang, cenderung kurang mampu menampilkan perilaku-perilaku dalam self regulation. Rohani (2009) mengatakan  untuk keluarga yang memiliki jumlah anak adalah satu orang, perilaku anak yang ditampilkan adalah  self assertion yang merupakan sikap kemandirian yang menjadi salah satu modal anak menuju kedewasaan dan kesuksesan. Self Assertion adalah dimensi kedua dari self regulation. Berikut ciri-ciri anak yang menampilkan self assertion : (1) anak mempu berkomunikasi verbal secara asertif, (2) anak mampu mengekspresikan diri dalam cara-cara yang kreatif, (3) anak mampu berpartisipasi positif dalam kelompok (Olson & Kashiwagi, 2000). Keluarga yang memiliki jumlah anak adalah dua orang atau satu orang memiliki kesempatan yang besar untuk memerankan pengasuhan  responsiveness, yaitu tindakan orang tua dengan sengaja membantu perkembangan kepribadian, regulasi diri, serta tuntutan diri anak, seperti : menyesesuaikan diri dengan anak, memberi dukungan serta berespon terhadap kebutuhan anak yang bersifat khusus. Selain itu juga memiliki kesempatan yang besar untuk memerankan pengasuhan  demandingness, yaitu tuntutan orang tua terhadap anak supaya anak terintegrasi ke dalam keluarga besar, yang berupa : tuntutan kematangan pada anak, pembimbingan, upaya pendisiplinan, dan kesediaan berhadapan muka dengan anak yang tidak taat (Baumrind, 1991). Seperti yang ditulis pada paragraf sebelumnya, bahwa pola asuh dibagi 4 macam, yaitu otoritatif, otoritarian, permisif,  un-involved. Menurut Baumrind (1991), pola asuh otoritatif memiliki  demandingness dan  responsiveness yang tinggi, pola asuh otoritarian memiliki demandingness yang tinggi tapi responsiveness-nya rendah. Sedangkan pola asuh permisif, memiliki demandingness rendah namun responsiveness-nya tinggi. Terakhir pola asuh uninvolved memiliki  demandingness dan  responsiveness yang rendah.  Berdasarka teori tersebut, menunjukkan bahwa pola asuh yang lebih baik dalam mengembangkan  self regulation anak adalah pola asuh otoritatif. Keluarga yang  memiliki jumlah anak dua orang atau satu orang memiliki kesempatan lebih besar untuk menerapkan pola asuh otoritatif.
Asumsinya adalah orang tua akan memberikan perhatian yang cukup kepada dua orang anak atau satu orang anak  Selain itu, interaksi antara orang tua dan dua orang anak atau satu orang anak dapat lebih terbuka. Rohani (2009) mengatakan bahwa keluarga dengan dua orang anak memberikan kesempatan bagi anak untuk belajar berbagi, menahan keinginan serta bergiliran mendapatkan perhatian dari orang tua dan di sisi lain orang tua dapat memberikan pendidikan dan perhatian yang cukup. Sedangkan keluarga dengan satu orang anak memberikan kesempatan bagi anak untuk mengungkapkan ide-idenya secara verbal dan memiliki keleluasaan untuk mengekspresikan diri dengan cara-cara kreatif. Keluarga yang memiliki lebih dari dua orang anak membutuhkan upaya yang lebih besar dan kadangkadang mengalami kesulitan menghadapi anak dengan berbagai karakter serta suasana hati yang berbeda-beda. Pada akhirnya orang tua tidak siap dan tidak konsisten dalam melakukan pengasuhan.
Simpulannya adalah  self regulation merupakan indikator penting dalam menunjang kesuksesan seseorang. Untuk mengembangkan  self regulation pada seseorang dapat dimulai sejak anak usia dua tahun, sehingga pola asuh menjadi pengaruh besar dalam mengembangkan  self regulation seseorang. Pola asuh otoritatif adalah metode pola asuh yang baik untuk membentuk  self regulation anak. Keluarga yang memiliki anak dua orang atau kurang memiliki kesempatan yang lebih besar untuk membentuk self regulation pada anak dan menerapkan pola asuh otoritatif dibandingkan keluarga yang memiliki anak lebih dari dua.
Daftar Pustaka :
Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent competence and
substance use. Journal of Early Adolescent, 11(1), 56-95.
Blair, C. (2003, Juli). Self regulation and school readiness: Eric digest. Retrieved 23 April
2008, from http://ericeece.org.
Bodrova, E., & Leong, D. J. (2005, Maret) Developing self regulation in kindergarten: Can we
keep all the circkets in the basket.  Beyond the Journal Young Children on Web.
Retrieved 30 April 2008, from. www.journal.naeyc.org/about/permisions.asp.
Brooks, J.B. (1999). The process of paranting (6
th
ed). New York:McGraw-Hill.
Darling, N. (1999, Maret). Parenting style and its correlates: Eric digest. Retrieved 23 April 
2008, from http://ericeece.org.
Demo, D.H., & Cox, M.J. (2000).  Family with young children: A review of research in the
1990s. Journal of Marriage and Family, 62, 876-895.
Eiden, R.D., Edwards, E.P., & Leonard, K.E. (2007). A conceptual model for the
development of externalizing behavior problems among kindergarten children of
alchoholic families: Role of parenting and children’s self regulation.  Journal of
Developmental Psychology 43(5), 1187-1201.
Eisenberg, N. (2005). Temperamental effortful control (self regulation). [Electronic vertion].
Enclycopedia on early Childhood Development. Arizona: Arizona State University.
Gray, M.R., & Steinberg, L. (1999). Unpacking authoritative parenting: Reassessing a
multidimensional  construct. Journal of Marriage and family, 61, 574-587.
Koblinsky, S.A., Kuvalanka, K.A., & Randolph, S.M. (2006). Social skills and behavior
problems of urban, African American preschoolers: Role of parenting practices, family
conflict and maternal depression. Journal of Orthopsychiartry, 76(4), 554-563.
Kurniasih. D. (2008, 11 Oktober). Melatih anak mandiri dan berprestasi. Nakita, 479, 14 –
15.
Li-Grining, C.P. (2007). Effortful control among low-income preschoolers in three cities:
Stability, change, and individual differences. Journal of Developmental Psychology, 43,
208-221.
McClelland, M.M., Connor, C.M., Jewkes, A.M., Cameron, C. E., Farris, C.L., Morrison, F.J.
(2007). Link between behavioral regulation and preschoolers’ literacy, vocabulary, and
math skills. Journal of Developmental Psychology, 43(4), 947-959.
Olson, S.L., & Kashiwagi, K. (2000). Teacher rating of behavioral self regulation in preschool
children: A Japanese/US comparison.  Journal of Applied Developmental Psychology
21(6), 609-617.
Perry, B.D. (2008). Self Regulation: The second core strength. Retrieved 2 Agustus 2008,
from http://teacher.scholastic.com/profesional/bruceperry/self_regulation.htm.
Rohani, W. (2009). Self regulation anak prasekolah terhadap pola asuh ibu. Journal Pskologi
Pendidikan. Universitas Tarumanagara.
Santrock, J. W. (2008). Education psychhology (3
th
ed). Boston: McGraw-Hill.
Susanto. H. (2006). Mengembangkan kemampuan self regulation untuk meningkatkan
keberhasilan akademik siswa. Jurnal Pendidikan Penabur 07.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar